Kamis, 26 Desember 2013

Ikan Tombur (10-100)


Makanan khas Batak kerap dengan rasanya yang pedas, spicy, dan penuh dengan bawang. Bedanya dengan makanan khas Padang, terkadang kuliner Batak memakai bahan yang tidak bisa dikonsumsi pemeluk agama islam seperti babi, darah, dan lainnya (apa lagi si?). Beberapa bahan yang unik dan sangat tradisi menurut saya adalah asam patikala, kecombrang, andaliman, dan asam gelugur

Ada sedikit cerita lucu mengenai andaliman ini. Bentuknya mirip seperti lada hitam kalau sudah kering. Awalnya berwarna hijau dan penuh dengan ranting seperti buah anggur. Dulu, saya pernah mendapatkan andaliman di Pasar Jatinegara. Saya coba masak dengan cumi tepung resep ala Gordon Ramsay. Pada video demo masaknya, digunakanlah sichuan pepper atau andaliman pada adonan tepung. Penampakannya seperti lada kering yang dijual di supermarket tetapi warnanya hitam.


Sedangkan, andaliman yang dijual di pasaran indonesia masih dalam bentuk yang segar. Mana nyarinya susah banget. Terakhir saya mendapatkannya di Pasar Minggu. Suatu hari dimana saya libur, tercetuslah ide untuk pergi ke Pasar Minggu mencari bumbu bumbu asli dari daerahnya. Dulu banget, ketika saya pulang larut malam dari Bogor dengan KRL, saya turun di stasiun Pasar Minggu. Karena saya tidak pernah pergi ke pasar yang becek pada malam hari jadilah saya sempat lihat lihat dulu, siapa tahu ada yang menarik.

Pasar tradisional pada malam hari lebih menarik, karena barang barangnya yang masih fresh dan tidak busuk. Sangat berbeda ketika sudah pagi apalagi siang.
Banyak sekali sayur mayur dari segala penjuru diturunkan, ditumpuk tumpuk, kemudian ditata dalam lapak para penjual. Begitu juga dengan ayam yang jumlahnya mungkin ratusan, ditumpuk tumpuk dalam satu baskom besar tanpa es batu (ups..). Saya kemudian mencoba membeli sayuran yang kiranya bisa diolah dengan mudah sembari menanyakan dimana lapak yang menjual andaliman dan kecombrang. Kata si penjual adanya siang hari karena kalau malam tokonya sudah tutup. Itulah yang  menjadi petunjuk buat saya kalau tidak harus berjauh jauh ke Pasar Jatinegara untuk mendapatkan andaliman.

Sesampainya saya di Pasar Minggu, saya langsung berjalan menelusuri bangunan yang kiranya menjual bumbu rempah rempah.. Biasanya, lapak yang menjual barang tersebut berdekatan dengan pedagang sayur mayur atau sembako. Jadi ketika saya melihat gedung yang menjual emas, baju, atau barang yang sifatnya sekunder atau tersier, insting saya langsung mengatakan, bukan disitu.

 Lalu saya tertarik pada suatu bangunan bertingkat yang berwarna biru, Ketika saya dekati, memang benar ada yang berjualan bawang, sembako, dan lainnya. Denah di dalamnya terdapat banyak blok dan gang yang tentunya tidak ber-directory seperti di swalayan. Tetapi paling gampang saya bertanya ke penjual yang biasanya akan nanya. "Cari apa mas?"

Kalau sudah ada yang nanya seperti itu, pasti akan ditunjukkan tempat si pedagang dengan tepat. Jarang sekali ada yang ngebohongin atau bilang tidak tahu.
Ternyata, di dalam blok yang sangat rumit itu berdampinganlah toko orang Batak dan Aceh yang memang menjual bumbu khusus makanan Aceh dan Batak. Pertama kali saya langsung membuka buku si Pak Bondan dan tergiur oleh bumbu bumbu yang dijual sama si Inang. Ada bawang batak/lokio, asam patikala, ikan salai, honje, bumbu kering lainnya, dan tentu saja andaliman. Kata inang inang yang jualan, di Pasar Minggu, cuma toko dia saja yang jualan andaliman.

Jadi seperti apa rasa andaliman? Suatu siang, saya akan berangkat kerja. Teringat andaliman yang masih di simpan di kulkas, saya meminta Mbak Ani untuk mengeluarkan dan ngejemur mumpung hujan tidak turun. Saya teringat belum pernah ngunyah bumbu itu secara langsung. Akhirnya saya coba petik satu buah dan gigit. Rasa awalnya seperti mengunyah kulit jeruk, citrus dan segar. Tetapi sensasi selanjutnya yang saya rasakan lidah menjadi mati rasa atau kebas. Diikuti dengan rasa dingin seperti mengunyah daun mint. Haduh ada ada aja, ini mau berangkat kerja malah coba yang enggak enggak. Untung saya gak sakit perut di perjalanan (lebay juga si). 
"Ohlala ternyata ini yang dimaksud Pak Bondan dengan lidah kebas dan kepedesan sewaktu makan ikan tombur."
Akhirnya saya berencana membeli ikan setelah pulang kerja dan memasak ikan tombur keesokan paginya. Di swalayan tersebut dijuallah ikan sanma. Ikan yang populer di Jepang. Biasanya diolah dengan dibakar di atas api dan dimakan dengan parutan lobak. Karena saya penasaran sama ikan sanma, jadilah dia korban untuk dibalut dengan sambel tombur tadi.

Tombur sendiri ternyata memiliki beberapa versi. Sewaktu saya coba browsing ada yang memakai kacang tanah dan ada yang tidak. Yang pasti bumbu utamanya adalah kecombrang, cabai, dan bawang. Pengolahannya pun ada yang pakai direbus dulu dan ditumis setelahnya. Pokoknya bermacam macam deh. Kiblat saya adalah resep yang ada di buku Pak Bondan yaitu dengan memakai kacang tanah goreng.

Setelah semua bumbu dimasukkan dan diramu sedemikian rasa, saya dan Mbak Ani belum menemukan rasa yang maknyus mengenai sambel tombur ini. Rasanya dominan seperti bumbu gado gado tetapi ada rasa kecombrangnya. Hayo lho.. Jadi salahnya dimana yah? Ketika sudah ditambah irisan cabai yang banyak pun masih belum terasa ke khasan sambel ini. Lidah pun tidak sekebas yang pada awalnya saya sudah membayangkan mungkin cuma bisa icip sedikit. Apa karena efek kacang yang meredam bumbu bumbu itu ya? Ah tak tahulah saya, stok andaliman pun sudah menipis kalau mau mencoba kedua kalinya lagi.

Rasa: 3 dari 5
Tingkat kesulitan memasak: Mudah
Tingkat kesulitan bahan: Sulit (Andaliman dan kecombrang)
Modifikasi resep: Diperlukan (Resep yang diberikan tidak terlalu detail langkah-langkahnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar