Selasa, 24 Desember 2013

Dingin dingin masak Bihun Kari (8-100)


Beberapa hari belakangan ini Jakarta diguyur hujan setiap harinya. Ya bener juga sih, kan bulan Desember memang waktunya untuk musim penghujan. Untungnya karena saya memiliki waktu bekerja dua jenis yaitu pagi dan siang, kalau hujannya pagi pagi bisa menikmati ringkukan di dalam slimut sambil mendengarkan rintikan bunyi hujan dan semilir angin yang dingin. Tapi, ketika berangkat ke kerjaan dan hujan guede banget terkadang malah payung payung personal sudah gak bisa melawan terjangan air itu. Untungnya banyak orang di Jakarta yang mencari uang, salah satunya adalah dengan mengojek payung yang ukurannya gede. Alhasil payung yang saya bawa gak jadi dipake dan saya menyewa jasa peminjaman payung dari anak anak yang masi berusia di bawah 12 tahun.

Terinspirasi dari dinginnya bulan desember, saya mencari resep yang kayaknya bisa menghangatkan badan dan bumbunya nggak susah. Akhirnya saya tiba ke halaman 52 yaitu bihun kari. Sekilas gambarnya mengingatkan saya dengan noodle curry yang dijajakan di Kopitiam di Bandara Changi. Makanan ini memang enaknya dimakan sewaktu sarapan atau peralihan pagi ke siang karena komposisi bahan makanannya yang tidak membuat perut terlalu penuh.




Pada saat saya akan membeli bahan masakan yang satu ini di supermarket, ada sesuatu hal yang mengganjal di pikiran saya. Pada resep, protein yang digunakan menggunakan ayam kampung. Harga yang ditawarkan untuk satu ekor ayam kampung mencapai 57.000. Memang sih ukurannya agak besar, pastinya memiliki banyak daging. Tetapi kalau dibandingkan dengan dada ayam broiler fillet sepertinya lebih banyak bagian yang bisa dimakan dengan harga belasan ribu. Dada ayam pun dipercaya lebih aman dari suntikan hormon dibandingkan dengan sayap, paha bawah, dan paha atas. Satu tips dari saya, potongan dada fillet yang dijual dalam bentuk memanjang atau strip lebih mudah lagi diolahnya. Kalau kita lupa mengeluarkannya dari freezer sesaat akan mengolah, ayam tersebut masih mudah dipotong potong menjadi dadu. Dan pada saat dimasak jangan ragu akan sulit matang.

Kari ayam yang satu ini menurut saya yang paling enak diantara ke tujuh makanan dengan santan sebelumnya. Rasanya ngeblend banget dan paling cocok di lidah saya. Isi di dalamnya ada kentang dan potongan ayam fillet. Saya membuat sedikit perbedaan di saat memasak sajian ini. Pada buku, style memasaknya adalah gaya cina. Sedangkan saya tetap memberikan sentuhan Aceh dengan masih menambahkannya daun kari sebelum masakan ini matang. Kentang yang saya pakai pun kentang untuk membuat rendang yang bentuknya kecil kecil. Memasaknya lebih ringkes dan disertai kulitnya sehingga ada tambahan serat dari situ.

Kekuatan utama dari kari ini setelah saya pikir pikir berasal dari tiga hal. Pertama adalah keenakan bumbu pasta kari yang kita masukkan. Untuk di dalam negeri pastinya bumbu  Moenik akan menjadi primadona. Hanya saja saya menggunkan bumbu pasta kari merah yang bernama Blue Elephant. Warna utamanya merah sehingga membuat kari saya yang awalnya berwarna kuning pucat seperti opor dan tidak memiliki rasa apa-apa menjadi kebalik 180 derajat. Rahasia kedua berasal dari rasa aromatik tanaman ketumbar dan daun kari. Ketumbar yang dimasukkan ke dalam panci tidak hanya tangkai dan daunnya saja. Namun saya masukan juga potongan akar. Sehingga aroma earthy bisa ikut dirasakan. Kelezatan ketiga berasal dari santan dan susu sapi yang menjadi media penggurih. Ketika saya memasak, saya menggunakan susuc cair fullkrim kemasan, Saya mencampurkan 2/3 susu tersebut dengan air sehingga rasanya tidak terlalu ketara.

Karena menurut saya resep ini enak banget, jadi semua pembaca harus coba masakan ini. Selamat berkreasi.

Rasa: 4,5 dari 5
Tingkat kesulitan memasak: Mudah
Tingkat kesulitan bahan: Mudah
Modifikasi resep: Tidak diperlukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar