Selasa, 10 Desember 2013

Kwetiau kerang putih (3-100)


Di hari hari sebelum saya libur, terpikir untuk memakan yang tidak bersantan dahulu. Gila aja, semua makanan di bab satu yaitu Aceh, pedes dan pakai santan semua. Yang ada lebaran setiap hari ini mah namanya. Sayapun bergidik melipir sedikit ke bab dua yang membahas makanan khas Sumatra Utara,. Melihat foto kwetiau kerang putih, saya pun jadi tertarik. Setelah dibaca prolognya, air liur di papila papila lidah ini berkeluaran secara omotatis. Wah ini nih menu yang akan menjadi bahasan saya selanjutnya.

Bahan yang diperlukan resep ini cukup tricky. Pada prolog, bahan paling utama yang menjadi gagasan enaknya dari hidangan ini adalah kerang putih. Judul dari makanan ini bukanlah kwetiau seafood tapi kwetiau kerang putih. Beruntung bukan ular putih juga sih. Yang ada saya akan mencoret resep ini dari daftar 100 masakan.

Walaupun pada bukunya tertulis kalau mau bisa diganti udang atau cumi-cumi, tapi saya kekeuh harus menemukan kerang putih. Apalagi Pak Bondan bilang bahwa kerang yang masih segar adalah kunci utama dari lezatnya makanan ini. Jadi sekarang, dimana ya mencari si kerang putih ini?


Tempat kerja saya memiliki dua supermarket kelas atas yaitu Foodhall dan Ranch Market. Dua market ini pasti memiliki varian makanan yang pastinya masih segar segar. Pertama, saya datangi Foodhall, eh kata mas mas yang bertugas di station seafood lagi kosong. Sempet saya tergiur mau membeli gurame fillet yang cuma berharga belasan ribu. Eh, tapi kan sekarang saatnya memakai kerang. Langsung aja saya pergi ke sayap gedung lainnya menuju ke Ranch Market.

Bela belain lah saya jalan kaki sepuluh menit, berharap supaya si kerang putih ada disana. Berbeda dengan Foodhall, supermarket ini lebih mementingkan busana dan budaya kerja yang unik. Pramuniaganya mengenakan celemek yang seragam dan banyak pekerja sales yang menawarkan berbagai produk makanan atau minuman. Eh, ini kenapa malah jadi bahas supermarketnya ya? Yah, intinya disini juga nggak ada deh kerang yang saya cari. Jadi masa bodo amat baju seragam mas mbak tadi. Akhirnya bahan bahan yang lainnya pun urung saya beli. Keburu pundung untuk buru buru pulang ke rumah.

Kesabaran saya tidak hanya diuji dengan ketidak tersediaannya kerang pada dua market yang top class. Awalnya saya sudah membeli tiket Kopaja AC yang memiliki harga lebih mahal. Tapi entah kenapa, insting saya malah berpihak untuk memakai rute Trans Jakarta yang saya kira bisa duduk dan tidak mengantri untuk pulang.

Biasanya pada jam jam sibuk pulang kerja, Bus Kopaja AC memiliki tingkat kepenuhan yang hampir sama dengan Commuter Line. Kita bisa kejepit dan tak bisa bergerak sampai sepuluh rute terakhir. Diperparah lagi dengan kondektur yang sebisa mungkin memasukkan penumpang dan mengatur kita baris berbaris seakan akan kita itu kuli lapang dan dia bosnya. Huh, terkadang saya suka kesal, seharusnya ada peraturan yang menerapkan bus ini layak untuk diisi berapa orang.

Pada kenyataannya saat saya tiba di Terminal Trans Jakarta Dukuh Atas Dua, eh sudah ngantri selama lima belas menit, busnya belum datang-datang. Tidak ada harapan lagi buat saya duduk pasti walaupun dibela belain mesti nunggu. Akhirnya saya mesti menghela nafas dalam dalam, membisikkan kata kata makian jauh jauh, dan berbalik arah lagi menyeberangi jembatan dukuh atas (yang panjang dan naik turun) untuk kembali ke niatan awal, yaitu memakai Kopaja AC. Berdiri kejengkang kaya sardin biarin deh. Yang penting saya harus pulang cepat.

Memang kalau rejeki itu tidak kemana. Baru saja saya tunggu dua menit dengan nafas masih tersengal sengal. Kopaja AC yang menuju arah rumah saya pulang datang. Kondisi di dalamnya pun tidak sesesak yang saya khawatirkan. Sayapun tersenyum lega dalam hati.

Ketika sudah di dalam si kondektur dengan cepat langsung meminta tiket kepada orang yang baru masuk. Dan ketika saya mengecek saku celana saya tidak ada secarik kertas hijau itu. Saku jaket pun tidak ada. Alamak, saya pun harus mengeluarkan duit lagi karena tiketnya raib entah kemana.

Sialnya saya hari itu.

***

Keesokannya, saya memantapkan hati banget untuk membeli semua bahan yang diperlukan. Carrefour merupakan satu hiper market yang menurut saya banyak memiliki varian ikan. Kalau sudah tiba hari Sabtu, kita harus pintar pintar mengatur waktu dan menyusun strategi di perjalanan. Karena sesungguhnya, hari Sabtu adalah hari yang paling macet se-Jakarta.

Maka saya meminta Mas Amri, yang tinggal di rumah saya untuk menjadi rider pada hari itu. Jam sepuluh kurang saya sudah harus cabut dari rumah.  Mengingat makin siang pasti antre di kasir saja sudah lima belas menit karena banyaknya pengunjung. 

Tiba disana saya langsung ke bagian makanan segar dan mencari kerang kerangan. Kerang putih mana kerang putih kata saya dalam hati. Pada display cuma ada tiga jenis: kerang hijau, kerang dara, dan kerang tahu. Yang berwarna putih cuma ada kerang tahu itu. Kerang hijau yang warnanya hijau, dagingnya pun berwarna gradasi cokelat kemerahan. Kerang dara cangkangnya berwarna putih tapi pasti bukan ini yang dimaksud karena dalamnya juga merah. Saya pun bertanya sama pramuniaga setempat. 'Adanya itu aja mas, paling kerang tahu yang warnanya putih'. 'Haduh yang mana pula ini kerang yang putih lagi'. Daripada saya gak jadi masak, akhirnya saya belilah kerang tahu itu.

Bahan pelengkap yang menjadi bedanya sajian ini adalah irisan daun kucai dan daun ketumbar atau wansui. Daun wansui dengan mudah dan agak mahal pasti ada di supermarket seperti ini. Tetapi kenapa daun kucainya nggak ada ya? Saya pun hampir pasrah membeli daun bawang prei namun tak jadi. Lalu bahan kedua yang juga tidak saya ditemukan disini adalah tongcai, fermentasi kol atau sawi kering yang rasanya asem. Biasanya dibuat untuk pelengkap bubur ayam. Tadinya saya juga hampir membeli bunga sedap malam kering, untungnya tak jadi juga.

Saya hanya perlu waktu belanja 15 menit. Antrean masih sepi untungnya sehingga pembayaran di kasir sudah selesai dilakukan. Tetapi masih ada bahan yang kurang lengkap sehingga menjadi ganjalan di hati saya. 'Pasti rasanya akan tidak semaknyus yang dirasakan si pembuat aslinya;, kata saya dalam hati.

Tidak lama saya mengingat ingat, 'dimana ya saya pernah beli daun kucai dan tongcai ?'
"Kenapa dua duanya berakhiran cai ya?" Pikiran abnormal pun tidak sengaja lewat. Aha, akhirnya saya ingat, di swalayan dekat rumah yaitu Aneka Buana, mereka suka menjual dua bahan tersebut. Dan seingat saya, bukanlah barang yang sifatnya musiman.

Saya pun dan Mas Amri langsung melaju ke Aneka Buana. Sebenarnya toko itu jauh dari konsep moderen, tapi barang yang sulit ditemukan malah terkadang ada disana. Yang saya suka adalah harganya yang tidak jauh dari pasar tradisional dan sudah dipak pak dalam porsi kecil. Jadi tidak usah membuang buang waktu untuk menimbang. Beruntungnya saya dua bahan tersebut yaitu kucai dan tongcai bisa saya dapatkan siang itu juga.

***

Semua bahan sudah siap di meja persiapan. Kwetiau yang kering sudah saya rebus hingga aldente. Kini saya bisa menumis bawang dan memasukan kerang tahu tadi. Masalah selanjutnya pun datang. 'Eh, ini kerangnya masih pakai cangkangnya atau nggak ya?'

'Haduh, sudah saya dipusingkan dengan nama putih, kini tidak ada kejelasan mengenai fisik si kerang ketika dimasak'.

Kalaupun hanya memakai si daging berarti saya harus memasaknya terpisah lebih dulu. Tapi saya ingat, kayanya kalau di restoran pasta dengan kerang hijau masih ada cangkangnya. Selain itu, kerang yang dimasak dengan cangkangnya malah akan mengeluarkan sari rasanya dan akan membuat makin basah masakan saya.

Pilihan dengan memasukan dengan cangkangnya adalah yang saya pakai. Setelah itu malah mudah mengikuti resep hingga bagian yang paling terakhit yaitu memberi bumbu. Di buku itu cuma ada tulisan berikan minyak wijen, kecap manis, kecap asin, dan saus tiram sesuai selera. Dan lagi lagi, tidak ada takaran pastinya mengenai komposisi bumbu tersebut.

Akhirnya ya dengan ilmu kira kira dan mengestimasi tingkat keasinan yang sudah ada saya racik lah bumbu bumbu itu. Tongcai dan kerang yang pasti sudah memberikan rasa yang asin, maka dari itu jangan dominan memberikan rasa asin lebih pada masakan ini. Tambah sedikit langsung dicobain, kalau kurang manis atau asin, tambah lagi bumbu dapur seperti gula atau garamnya. 

Setelah berkeringat dengan panasnya kompor dan membolak balik si kwetiau meratalah semua bumbu di sekujur pasta beras putih tadi. Kini giliran rajangan kasar daun kucai dan daun ketumbar yang memeriahkan makanan ini. Kini makanan ke tiga Tenten Bondan Project kelar juga dan tiba di landasan piring yang putih.

Ketika saya coba rasanya, satu kata, enak banget. Memang kekuatan tambahan dari rasa yang diciptakan kucai dan ketumbar benar benar membuat cita rasa enak tersendiri yang pertama terrasa di lidah. Rasa gurih dari kecap asin yang tidak medok juga membuat makanan ini menjadi terlalu thick. Oiya saya menggunakan merek pearl river, rasanya ringan dan gurih, Kerenyahan tauge dan kenyalnya kerang tahu dan kwetiau membayar semua perjuangan membuat makanan ini. Enak banget dan patut dicoba.

Beberapa hari setelah saya mengerjakan projek ini, saya iseng meng-google kerang putih. Hasilnyapun tidak signifikan apa yang dimaksud. Saya sih menyimpulkan yang pasti kerangnya harus segar. Kalau duit anda cukup buat beli scallop kenapa enggak? Hehe

Rasa: 4 dari 5
Tingkat kesulitan memasak: Mudah
Tingkat kesulitan bahan:Mudah
Modifikasi resep: Tidak diperlukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar