Gua inget, dulu pas jaman kuliah. Ada satu kompetisi memasak
juga. Yang mengadakan temen temen satu jurusan sendiri. Bahan bakunya juga
tempe, sama kaya kompetisi yang gua kerjain tahun ini bareng Adi. Bedanya,
tahun 2009 (kalo gak salah) gua mesti buat menu yang lansung dibuat dan dibuat
dalam satu tim.
Kali itu pilihan gua, jatuh ke anak laki laki berbadan besar
yang bernama Ari. Ari ini tukang makan. Bisa dilihat dari size badannya yang
montoq. Sebagai orang yang tukang makan, sudah pasti mindset Ari untuk makanan
adalah enak dan enak sekali. Tapi karena beliau baik hati dan kadang
royal untuk jajanin gua makanan.
DI kala itu, kita sama sama sibuk untuk ngerjain proyek
dalam acara yang berbeda tapi masih satu rangkaian. Alhasil, mau belanja bahan
pun dilakukan last minute. Nggak sempet browsing resep, beli bahan juga asal
asalan, maunya murah tapi bagus. Usaha yang gak serius itu kita mesti hadapi
sewaktu lomba akan dimulai.
Gua inget banget, ada peserta dari jurusan lain yang membawa
bumbu halus sudah jadi. Bahan bahannya sudah diprepare dengan cantik kaya Farah
Quinn mau masak. Bedanya dua mbak dari jurusan ini gak bahenol dan pake kuteks.
Ada juga peserta ade kelas yang bawa belanjaan bahan makanannya dari
supermarket Giant. Yang artinya mereka harus menempuh 30 menit alias 1 jam
bolak balik untuk bela belain ikut lomba
skala satu kampus ini (karena dari luar gak ada yang ikut).
Yaudah, nasi sudah menjadi kerak. Akhirnya kita mengerjakan
lomba dengan gak terlalu semangat dan sportifitas yang menjua jua. Ari dan gua
pun gak jelas punya jobdesc apa. Akhirnya dari awal sampe terakhir kerjaan kita
berantem terus kerja. Berantem lagi terus masak. Dan ketika waktu menunjukkan
tinggal 3 menit lagi mau usai, gua melakukan aksi membuat saus atau glaze dari
kecap. Dimana entah teknik atau kebodohan apa, terjadi teknik yang namanya
flambe di fry pan yang kita pakai.
Boro boro nyicip, yang penting tampilan cantik dan chic.
Tampilan nomer satu, nomer dua keberanian, rasa nomer sekian.
Akhirnya semua peserta menampilkan hidangannya di ruang
cafeteria. Kelihatan sekali mana kelompok yang niat dan kelompok yang kaga
niat. Brokoli yang saya gunakan warnanya sudah overcook. Mau sok sok-an pakai
keju melted di atasnya, masih lumpy juga karena gak cukup waktu. Komentar yang
paling saya ingat dari juri adalah bumbu glaze nya ini gak sehat, sudah ada
proses pembakaran. Ini kecap kan? Disitulah gua sadar dan terbangun. Bahwa rasa
gak bisa bohong. Dan yang namanya masak untuk lomba atau sekedar demo di depan
orang banyak, harus punya jam terbang yang tinggi. Atau nggak, yaa grogi kaya
begini.
That’s why dari pengalaman itu juga, gua tahu rasanya deg
deg-an, pecah konsentrasi, dan panik kalau lihat acara lomba masak kayak
masterchef, hell’s kitchen dan lain lain. Wih apalagi hell’s kitchen, mana ada
sih orang yang bisa sehat kalau kerjaannya dibentak bentak mulu. Walau memang
ada kalanya kalau kerja di operation harus dikerasin.
Lah, cerita lomba masak tahun 2017 mana. Nanti ada
dipostingan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar